(Sebuah catatan kritis terkait eksistensi masyarakat
adat menghadapi perubahan iklim dan skema REDD+)
Di tengah perkembangan globalisasi dunia
yang semakin menggila, dan tingkat sosialisasi hubungan antar manusia yang
mendekati titik absurd dengan segala teori moderinitasnya atas nama tuntutan
jaman, nun jauh di pelosok-pelosok yang nyaris tak terjamah oleh peradaban
dunia, ada kehidupan yang begitu damai hidup
berdampingan dengan alam.
Mereka adalah masyarakat adat, yaitu penduduk yang hidup dalam satuan-satuan komunitas
berdasarkan asal-usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu wilayah adat,
yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya
yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan
kehidupan masyarakatnya.
Tapi berangkali keberadaan mereka, hanya
dianggap sebagai 'alien' di tengah-tengah laju moderitas kehidupan dunia
perkotaan. Yang menganggap gaya hidup berdampingan dengan alam adalah gaya
hidup ‘alien’. Yang menjadi pertanyaan kemudian, siapa sebenarnya yang menjadi
alien di alam ini? Kehidupan moderitas yang bertentangan dengan kedamaian alam
kah, atau masyarakat-masyarakat adat ini yang memilih berkawan alam dan tumbuh
berdampingan dengan alam?
Suku Kajang atau Ammatoa, yang memiliki nilai-nilai luhur hidup berdampingan dengan alam |
Dan yang paling mengerikan mereka yang
dianggap alien-alien bumi ini, mulai terancam keberadaannya, dengan semakin
tingginya tingkat kerusakan alam. Ironisnya, kerusakan alam ini lebih banyak
diakibat oleh cara hidup modern yang tidak bersahabat dengan alam. Belum lagi
keberadaan mereka belum cukup terwakili atau terlibat dalam berbagai diskusi
internasional soal pengelolaan hutan. Padahal dengan memiliki hutan tropis
terluas ketiga di dunia, Indonesia sering menjadi sorotan.
Yang cukup awam terjadi adalah, hak-hak masyarakat adat di berbagai belahan dunia tidak diakui oleh pemerintah pusat. Hasilnya adalah berbagai konflik tanah atau lahan yang terjadi sehubungan dengan hutan.
Yang cukup awam terjadi adalah, hak-hak masyarakat adat di berbagai belahan dunia tidak diakui oleh pemerintah pusat. Hasilnya adalah berbagai konflik tanah atau lahan yang terjadi sehubungan dengan hutan.
Hasil hutan, sebagai sumber hidup Masyarakat adat.Sering juga menjadi konflik internal |
Salah satu contoh kejadian di Indonesia,
masyarakat adat yang sudah secara turun-temurun mengambil atau menjual hasil
hutan adat, tiba-tiba dilarang masuk kawasan hutan karena wilayah tersebut
sudah menjadi bagian dari kawasan kelola sebuah perusahaan tertentu.
Data dari Kementerian Kehutanan menyebutkan, saat ini ada 19.240 desa di 32 provinsi yang sedang mengalami konflik atas kawasan hutan. Batasan antara hutan masyarakat dan hak pengelolaan yang diberikan kepada sektor bisnis masih sering tumpang tindih.
Sementara itu, organisasi Rights and Resource Initiative malah mencatat ada 26 ribu desa di Indonesia yang tengah berebut jutaan hektar lahan hutan. Dan terdapat 85 konflik lahan yang berakhir dengan kekerasan terjadi di 33 provinsi di Indonesia tahun ini — naik dari hanya 50 pada tahun lalu.
Ironis bukan..??
Lalu akankah kita hanya diam menyaksikan
kepunahan masyarakat-masyarakat adat ini? Atau memang benar, mereka hanyalah
alien-alien yang tidak memiliki peranan penting dalam siklus hidup di alam ini?
Akankah kita menjadi saksi sejarah punahnya
70 juta masyarakat adat ini? Dan sejauh mana modernitas hidup menggiring kita
jauh dari keramahan alam selama ini, sampai kita mengabaikan eksistensi mereka?
Padahal ancaman dari kepunahan mereka, adalah akibat dari globalisasi dunia
yang lebih banyak bersumber dari buruknya gaya hidup masyarakat modern yang
tidak bersahabat dengan alam. Dan ketika alam memberontak, maka calon korban terbesar dari amukan alam adalah Masyarakat-Masyarakat Adat
ini, yang sebenarnya masyakat yang paling damai hidup bersama alam, karena kehidupannya masih tergantung dengan hutan, yaitu ekosistem hutan yang
berada di wilayah adat mereka.
Padahal
bijaknya, banyak
nilai-nilai kearifan lokal dari cara hidup mereka yang
berdampingan dengan alam, bisa menjadi kiblat hidup bagi kita semua. Bahwa
seharusnya cara hidup Masyarakat adat inilah yang harus kita tiru dan kita
sosialisasikan pada kehidupan-kehidupan masyarakat yang
terus berlanjut.
Sayangnya di
negeri kita ini, keberadaan masyarakat adat ini
sangat lemah.
Bahkan
Ketua Dewan Kehutanan Nasional Hedar Laujeung merujuk salah satu sumber masalah
pengelolaan hutan pada perundang-undang yang berbias kolonial dan tidak ramah
terhadap masyarakat setempat. Hutan langsung dianggap sebagai tanah negara.
Padahal, Forum PBB untuk Hutan (United Nations Forum on Forests) sudah
menegaskan,
“Di mana ada hutan, pasti ada manusia di
sana. Komunitas masyarakat adat di sekitar hutan sudah secara tradisional dan
akan terus menjadi pemangku kepentingan utama."
Tetapi, menurut Hedar, hak-hak masyarakat atas hutan selama ini tidak diakui. Padahal mereka sudah bermukim di hutan sebelum republik ini didirikan.
Sudah menjadi fakta, sebagian wilayah Indonesia terdiri banyak hutan yang dihuni dan dipelihara
oleh para Masyarakat adat ini secara tidak langsung. Karena mekanisme hidup masyarakat hidup ini sangat tergantung pada hutan. Wilayah hutan adat
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari siklus kehidupan komunitas
masyarakat adat sebagai penghuninya. Pada umumnya
komunitas masyarakat adat memandang bahwa manusia adalah bagian dari alam yang
harus saling memelihara dan menjaga keseimbangan dan harmoni di antara
keduanya. Singkatnya, keberadaan dan peran masyarakat adat terlalu besar untuk diabaikan
oleh para pemangku kepentingan baik di level lokal, nasional maupun global. Dan sayangnya,
hutan yang merupakan surga kehidupan bagi Masyarakat adat ini, mulai teracam
akibat dari perubahan iklim.
Baru-baru ini,
sebuah gerakan international dengan misi melindungi hutan dari pengurangan
akibat globalisasi dunia yang mengakibatkan perubahan iklim yang ekstrim yang dikhawatirkan akan berdampak buruk pada hutan-hutan yang ada di
dunia. Mereka
kemudian mengeluarkan progam REDD (Reducing
Emissions from Deforestation and Forest Degradation) atau program upaya
pengurangan emisi yang diakibatkan oleh deforestasi dan degradasi hutan.
Jika melihat skema kerja REDD, dimana
negara-negara industri akan membayar insentif kepada negara-negara pemilik
hutan yang memelihara hutan untuk menyerap karbon. Maka ini bisa dijadikan momentum
oleh masyarakat adat di seluruh pelosok nusantara untuk menunjukkan eksistensinya,
tidak hanya sebagai korban dan calon korban dari dampak perubahan iklim. Akan
tetapi yang paling penting adalah menunjukkan bahwa ada atau tidak skema
perubahan iklim (termasuk REDD dan REDD+), ada atau tidak ada permintaan,
masyarakat adat telah memberikan kontribusi nyata dalam upaya-upaya mitigasi
dan adaptasi perubahan iklim dan penyelamatan dari pengurangan-pengurangan
hutan.
Tapi tentu
saja, diperlukan peranan luar biasa dan tidak biasa dari pemilik penguasa
negeri ini dan kelompok komunitas-komunitas yang peduli pada keberadaan masyarakat adat ini, untuk membantu mereka, agar bagaimana masyarakat adat ini tetap terlindungi, dan mendapatkan manfaat yang nyata
dengan adanya REDD dan REDD+ ini.
Tidak
sebaliknya menjadikan keberadaan masyarakat adat hanya untuk mengambil keuntungan dari program REDD dan REDD+ demi kepentingan
pribadi dan kekuasaan kelompak-kelompok tertentu, sehingga hal dasar yang menjadi tujuan utama dari program REDD dan REDD+ dan tidak dinikmati oleh Masyarat adat sebagai kelompok yang paling berjasa
dalam menyelamatkan hutan-hutan.
Dan moment ini bisa dijadikan introspeksi nasional, bahwa masyarakat adat
bukanlah 'alien' di tengah globalisasi dunia,
tapi bak 'hero' yang kini
sedang sekarat, terancam punah karena perubahan iklim
akibat dari gaya hidup sebagian besar kita yang terlampu
menjadikan kehidupan modern sebagai life mindset untuk bertahan hidup.
Masyarakat adat
yang bak ‘Pahlawan alam’ yang terlupakan oleh kita semua. Dan semoga kita tidak
menjadi pahlawan kesiangan untuk mereka.
Makassar, 15 April 2013
oleh : Mhimi Nurhaeda Demmu
Tulisan ini diikut lombakan pada "Kompetisi Penulisan dengan tema 'Masyarakat Adat Sulawesi, Dampak Perubahan Iklim dan REDD+
Sumber tulisan :
http://sulawesiwisdom.blogspot.com/
http:www.Lylpop.com
www.Antaranews.com,
www.jurnal-celebes.com
www.kompas.com
www.forestsclimatechange.org.
www.rumahiklim.com
http://id.berita.yahoo.com/tak-pernah-jadi-majikan-di-hutan-sendiri.html
http:www.Lylpop.com
www.Antaranews.com,
www.jurnal-celebes.com
www.kompas.com
www.forestsclimatechange.org.
www.rumahiklim.com
http://id.berita.yahoo.com/tak-pernah-jadi-majikan-di-hutan-sendiri.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar